Unsur Pidana dalam Hutang Piutang
Utang piutang adalah uang yang dipinjam dari orang lain dan yang dipinjamkan kepada orang lain. Utang piutang dalam KUHPerdata disebut dengan perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam pasal 1754. Utang piutang diawali dengan perjanjian yang disebut perjanjian utang piutang antara dua subjek hukum yang disebut dengan debitur dan kreditur, kemudian dibarengi dengan penyerahan benda sebagai jaminan.
Perjanjian utang piutang dan perjanjian penyerahan benda jaminan harus disepakati oleh para pihak dalam perjanjian. KUHPerdata Pasal 1320 menjelaskan syarat sah suatu perjanjian yaitu;
1. Sepakat meraka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Kata sepakat dalam suatu perjanjian merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak saling terima satu sama lain mengenai pokok-pokok dari perjanjian yang diadakan. Kedua belah pihak sama-sama tidak menolak apa yang diinginkan oleh pihak lawannya. Dengan adanya kata sepakat, maka perjanjian itu telah ada, sejak saat itu perjanjian mengikat kedua belah pihak dan dapat dilaksanakan.
Suatu hal tertentu merupakan objek perjanjian yaitu benda yang diperjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, dapat dihitung atau ditetapkan Seperti dijelaskan dalam pasal 1313 KUHPerdata menentukan bahwa dalam perjanjian tentang barang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya dapat ditentukan kemudian.
Suatu sebab yang halal adalah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilan dan maksud serta tujuan perjanjian harus dapat dilaksanakan (pasal 1335 s.d 1337 KUHPerdata). Suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dalam perjanjian utang piutang ada kebebasan debitur dan kreditur dalam menentukan isi dan bentuk perjanjian sesuai dengan asas perjanjian yaitu kekebasan berkontrak (contract vrejheid). Untuk perjanjian utang piutang hendaknya dibuat secara tertulis karena dengan bentuknya yang tertulis akan lebih mudah untuk dipergunakan sebagai bukti apabila dikemudian hari ada hal-hal yang tidak diinginkan, karena dalam hukum perdata, bukti tertulis merupakan bukti utama. Dengan dituangkannya perjanjian dalam bentuk tertulis, maka masing-masing pihak akan mendapat kepastian hukum mengenai pokok-pokok dari perjanjian yang disepakatinya.
Terkait dengan masalah pinjam meminjam uang (hutang piutang) termasuk dalam lingkup hukum Perdata, sehingga ke ranah Pidana adalah jalan terakhir, dasar hukumnya diatur dalam Pasal 19 ayat 2 UU No. 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:
“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.”
Namun jalur Pidana bisa digunakan, jika memang ada unsur penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHPidana atau pun unsur Pasal tindak Pidana lainnya, seperti Pasal 372 KUHPidana yang dapat dikenakan pidana kepada pelakunya dengan sanksi pidana penjara, dan tindakan Pidana ini dilakukan dengan syarat kreditur telah melakukan penagihan beberapa kali kepada debitur.
Penjelasan Pasal Penipuan diatur oleh Pasal 378 KUHPidana:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut di atas, maka unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah sbb:
1. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan).
2. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum.
3. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
Apabila si pelaku (debitur atau yang berhutang) sengaja memiliki niat untuk menipu dengan tidak mengembalikan hutangnya, dengan pembuktian sudah ditagih, maka hal itu memenuhi unsur penipuan sebagaimana rumusan di atas, maka perbuatan itu adalah perbuatan pidana, sehingga kreditur bisa melaporkan debitur tersebut ke Kepolisian setempat.
Sedangkan Pasal Penggelapan ada dalam Pasal 372 KUHPidana Perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan apabila memenuhi unsur-unsur “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”
Andika_LEGAL OFFICER CONSULTANT 21