Pelakor bisa dipidana??

Konsekuensi Hukum Menjadi Pelakor ??

 

Dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sendiri telah dijelaskan bahwa Pernikahan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Komitmen pernikahan mengarahkan kepada pasangan suami istri untuk selalu setia, dan tidak berkhianat apalagi berselingkuh. Komitmen tersebut bukan saja diwajibkan oleh agama (dalam hal ini al-Qur’an dan hadis), namun juga seluruh norma kehidupan mewajibkan suami istri untuk konsisten dengan komitmennya. Dengan demikian das sollen (seharusnya) atau idealitanya, suami istri tidak melakukan perselingkuhan, namun das sein (kenyataan) atau realitanya perselingkuhan masih saja terjadi.

Pelakor merupakan akronim dari perebut lelaki orang. Dari hasil penelusuran penulis, berdasarkan peristiwa yang banyak terjadi saat ini, istilah ini identik dengan perempuan yang merebut seorang laki-laki (suami) dari istri sahnya. Perbuatan tersebut biasanya dikenal dengan istilah selingkuh.

Jika kita berbicara konsekuensinya, tidak mungkin konsekuensi tersebut hanya ditanggung oleh perempuan yang menjadi pelakor saja, tetapi juga harus ditanggung oleh kedua belah pihak yang melakukan perzinaan.

Penulis disini tidak membahas faktor yang menyebabkan terjadinya perselingkuhan, dan dampak psikologis yang menyebabkan orang melakukan perselingkuhan, tetapii disini akan dibahas konsekuensi atau dampak hukum kepada pelaku pelakor.

Secara hukum belum ada aturan yang khusus untuk menjerat para pelakor. Tetapi apabila pelakor tersebut telah berhubungan badan dengan sorang laki-laki yang bukan Suami sahnya, Maka simak berikut ini penjelasannya :

Merujuk pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Maka hukum perkawinan di Indonesia menentukan tujuan dari perkawinan tersebut. Adapun tujuannya adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi untuk mewujudkan tujuan tersebut, seorang pasangan suami-istri akan menemui bermacam - macam ujian dalam hidupnya, contohnya adanya sebuah perselingkuhan baik dari pihak suami maupun istri.

Selain dilarang oleh agama, perselingkuhan juga dapat menjadi pemicu retaknya rumah tangga. Jika perselingkuhan telah mengarah ke perbuatan zina (melakukan hubungan badan atau seksual dengan pasangan sah orang lain), maka suami/istri dari pasangan yang melakukan zina dapat melaporkan istri/suaminya ke polisi atas dasar Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Berikut bunyi pasalnya:

Pasal 284

1.  Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

1

a

seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

 

b

seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

2

a

seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

 

b

seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

2.     Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti  dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

3.     Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

4.    Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

5. Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Dari ketentuan di atas, tampak bahwa baik pelakor (sebagai perempuan yang melakukan hubungan seksual dengan suami orang lain), maupun laki-laki yang telah mempunyai pasangan sah (suami yang direbut oleh pelakor) dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 284 KUHP. Namun, proses penuntutan secara pidana hanya dapat dilakukan atas pengaduan pasangan sah atau istri yang suaminya direbut oleh pelakor .

Ditegaskan pula oleh R. Soesilo bahwa Pasal 284 KUHP ini merupakan suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan (yang dimalukan).

 

Andika Agus Nugraha_Legal Officer 21 Consultant