Justice collaborator adalah sebutan bagi saksi pelaku yang bekerja sama dengan
aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu. Secara
sederhana, arti justice collaborator adalah pelaku
kejahatan yang memberikan keterangan dan bantuan kepada para penegak hukum.
Namun, tidak semua pelaku yang kooperatif dapat disebut sebagai justice
collaborator.Seorang justice collaborator memiliki
dua peran sekaligus, yakni sebagai tersangka sekaligus saksi yang harus
memberikan keterangan dalam persidangan.
Peran atau fungsi justice
collaborator ini antara lain:
- Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan
terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian aset dari hasil
suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara.
- Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum
- Memberikan kesaksian dalam proses peradilan.
Dasar Hukum bagi
Justice Collaborator
Dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia, justice collaborator dikenal dengan
istilah “saksi pelaku” dan/atau “saksi pelaku yang bekerja sama”. Lebih lanjut,
ketentuan mengenai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerjasama ini
diatur dalam beberapa peraturan, antara lain UU 13/2006 sebagaimana yang telah
diubah oleh UU 31/2014; Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK,
Ketua Ketua LPSK Nomor M.HH-11.HM.03.02, PER-045/A/JA/12/2011, 1, KEP-B-02/01-55/12/2011,
4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku
yang Bekerjasama (“Peraturan Bersama Perlindungan Saksi”); dan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 (“SEMA 4/2011”).
Kemudian, Pasal 1 Angka 3
Peraturan Bersama tentang Perlindungan Saksi menerangkan bahwa saksi pelaku
yang bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang
bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana
atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau
hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada
aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Pedoman untuk menentukan
seseorang sebagai justice collaborator diatur dalam Angka 9 SEMA 4/2011. Aturan
ini menerangkan bahwa penetapan seseorang sebagai justice collaborator
dilakukan berdasarkan klasifikasi berikut.
1. Orang yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak
pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam
kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses
peradilan.
2. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan
sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana
dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran
lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
Kemudian, atas peran dari justice
collaborator tersebut, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat
mempertimbangkan dua hal dalam penjatuhan pidana, yakni menjatuhkan putusan
pidana percobaan bersyarat dan/atau pidana penjara paling ringan dengan
mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat.
Selain itu, Ketua Pengadilan dalam mendistribusikan perkara juga perlu memperhatikan dua hal, yakni memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap justice collaborator kepada majelis yang sama sejauh memungkinkan; dan mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh justice collaborator.