Kepastian Hukum dalam Penentuan Nilai Dasar Penghitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

 



Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan((BPHTB) merupakan pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dipungut berdasarkan Undang undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 yang termuat dalam  Pasal 1 ayat (1). Pajak ini bukan merupakan jenis pajak baru, karena pada masa lalu telah diterapkan sistem pemungutan pajak yaitu Bea Balik Nama (BBN) atas tanah berdasarkan ordonasi  BBN Staatsblad  Tahun 1924 Nomor 291. BBN dipungut berdasarkan setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan orang-orang bertempat tinggal tinggal terakhir di Indonesia (Hartoyo & Untung Supardi,2010). Namun sejak tahun 1961 BBN tidak dipungut lagi karena hak-hak atas tanah berdasarkan Undang--Undang Nomor 5 Tahun 1960 jo Peraturan Pemerintah Tahun 1961 sebagaimana diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan dirubah terakhir dengan Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pemberlakuan BPHTB dilatarbelakangi pemikiran bahwa tanah dan atau bangunan sebagai bagian dari sumber daya alam memiliki arti fungsi sosial, disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga memberikan manfaat ekonomi kepada pemiliknya. Dengan demkian, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan adalah wajar menyerahkan sebagian dari nilai ekonomi yang merek peroleh kepada negara melalui pembayaran pajak, yaitu pajak BPHTB.

Pajak BPHTB merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang memiliki peran penting dalam mendukung pembangunan. Pajak BPHTB dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang meliputi berbagai transaksi seperti jual beli, warisan, hibah, atau perolehan lainnya. Dalam praktiknya, penentuan nilai dasar penghitungan BPHTB, yang pada umumnya menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai transaksi, sering kali menjadi sumber permasalahan hukum. Nilai transaksi adalah nilai yang menjadi kesepakatan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, seperti dalam proses jual beli, nilai tersebut disepakati oleh penjual dan pembeli (Sri Mahmudji, 2003). Kepastian hukum dari nilai transaksi memainkan peran penting dalam menentukan validitas transaksi jual beli tersebut.

Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa nilai transaksi yang tercantum dalam akta jual beli atau sebagai dasar perhitungan BPHTB sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui oleh pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi.

Penggunaan nilai transaksi sebagai dasar perhitungan BPHTB memberikan landasan yang penting. Ini seringkali menjadi penyebab munculnya permasalahan di lapangan, karena banyak transaksi yang diajukan oleh wajib pajak (WP) yang dianggap tidak sesuai oleh petugas pajak dalam proses verifikasi/validasi. Petugas pajak meminta kepada wajib pajak untuk mengubah dan menyesuaikan nilai transaksi sesuai dengan penilaian pegawai pajak. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena pada dasarnya wajib pajak menginginkan pajak yang ringan Sehingga nilai yang tertera dalam akta yang digunakan sebagai dasar Penghitungan BPHTB tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

Pemakaian nilai transaksi yang berlandaskan harga pasar cenderung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB). Oleh karena itu, petugas pajak menghadapi kesulitan dalam menetapkan nilai transaksi yang lebih akurat. Dalam melakukan penelitian mengenai kebenaran dari nilai transaksi yang dipakai oleh wajib pajak (WP) untuk menghitung BPHTB, petugas perlu mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber yang pada kenyataannya bukanlah perkara mudah untuk mendapatkan angka yang tepat serta menjamin kevalidannya.

Begitupun sebaliknya tidak menutup kemungkinan nilai transaksi yang ditentukan oleh petugas pajak ini justru dianggap tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, hal inilah yang sering menjadi masalah karena tidak adanya kepastian mengenai nilai transaksi. Pada dasarnya nilai transaksi dalam sebuah jual beli ditentukan semata oleh para pihak berdasarkan kesepakatan, dan tidak ada satu pihak manapun yang dapat menentukan, apalagi memaksa untuk menggunakan nilai tertentu. Dalam hal terjadi pemaksaan dan/ atau suatu tindakan yang mengakibatkan nilai transaksi tidak sesuai dengan yang sebenarnya, yang telah disepakati oleh pihak-pihak, maka transaksi tersebut dapat menjadi tidak sah dan batal.

Berdasarkan ilustrasi tersebut, maka nilai transaksi yang diajukan oleh wajib pajak (WP) yang tercantum dalam akta, serta menjadi acuan perhitungan BPHTB, bersamaan dengan nilai transaksi menurut penilaian petugas pajak dalam proses validasi, bersifat relatif dan subjektif. Akibatnya, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian yang bias berpotensi menimbulkan beragam konsekuensi hukum, termasuk dapat membuat transaksi menjadi tidak sah dan batal, bahkan dapat merugikan masyarakat yang terpaksa membayar pajak yang lebih tinggi dari seharusnya. Selain itu, juga dapat menciptakan prosedur yang rumit dan panjang, mengingat perlunya proses validasi yang terkadang membutuhkan waktu yang kompleks dan lama.

Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan kajian mendalam terkait nilai yang tepat dan pasti sebagai dasar perhitungan pengenaan BPHTB yang wajib dibayarkan oleh masyarakat yang melakukan peralihan hak atas tanah.

Ketidakpastian hukum dalam penentuan nilai dasar penghitungan BPHTB dapat menimbulkan berbagai implikasi, baik bagi wajib pajak (WP) maupun pemerintah daerah.  Di sisi wajib pajak, ketidakpastian ini dapat mengakibatkan beban pajak yang tidak proporsional, sedangkan bagi pemerintah daerah, hal ini dapat berdampak pada potensi kehilangan pendapatan pajak. Oleh sebab itu, diperlukan mekanisme yang jelas dan konsisten untuk memastikan bahwa penghitungan BPHTB dilakukan secara adil, transparan, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Ditulis oleh : Andika Agus Nugraha, S.H.