Penegakan hukum pidana perpajakan merupakan
aspek penting dalam upaya mengelola dan memastikan kepatuhan pajak di
Indonesia. Sebagai negara dengan perekonomian yang terus berkembang, pajak
menjadi salah satu sumber utama pembiayaan negara. Namun, praktik penghindaran
dan pelanggaran kewajiban perpajakan, baik yang dilakukan oleh individu maupun
badan usaha, masih menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, untuk memastikan
tercapainya pemulihan kerugian negara akibat ketidakpatuhan perpajakan, penegakan
hukum pidana perpajakan menjadi sangat penting.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan (HPP) adalah landasan hukum yang baru dalam sistem perpajakan di Indonesia. Undang-Undang ini tidak hanya mengatur aspek perpajakan dari sisi administrasi dan teknis, tetapi juga memberikan dasar yang lebih jelas terkait dengan penegakan hukum, termasuk penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran perpajakan.
Undang-Undang HPP bertujuan untuk menyelaraskan peraturan perpajakan yang ada, mengurangi distorsi kebijakan, serta memperkuat mekanisme pemulihan kerugian negara yang diakibatkan oleh pelanggaran perpajakan. Pada sisi lain, penegakan hukum pidana perpajakan tidak hanya berfungsi sebagai bentuk sanksi atas pelanggaran yang dilakukan, tetapi juga sebagai instrumen pencegahan agar wajib pajak lebih patuh terhadap kewajiban perpajakannya. Pemulihan kerugian negara merupakan tujuan utama yang hendak dicapai melalui penegakan hukum perpajakan. Dengan adanya penegakan hukum yang lebih tegas dan efektif, diharapkan negara dapat memperoleh kembali pajak yang seharusnya menjadi hak negara. Dalam implementasinya, hukum pidana perpajakan harus diterapkan secara adil dan transparan, dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang sah serta proses hukum yang berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji lebih dalam mengenai implementasi penegakan hukum pidana perpajakan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 ini, serta dampaknya terhadap pemulihan kerugian negara. Pemahaman yang lebih komprehensif terhadap peraturan yang ada akan membantu memperkuat sistem perpajakan Indonesia dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada tahun 2021, dalam Undang-Undang Perpajakan sebelumnya yaitu Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tidak mengatur mengenai ketentuan subsider, tetapi dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) terdapat hukuman subsider yaitu hukuman denda yang dapat diganti dengan hukuman kurungan. Akan tetapi, hakim mendasarkan pada ketentuan pasal 30 ayat (2) KUHP sehingga banyak putusan yang menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda yang dapat disubsider dengan kuruangan apabila tidak dilunasi utang pajaknya.
Wajib Pajak mendapatkan tambahan hak baru
dalam Undang-Undang HPP yaitu kemungkinan tidak dipidana kurungan setelah
melunasi atau membayar kerugian negara. Hal ini tercantum dalam Pasal 44B UU
HPP ayat (2a), (2b), dan (2c). Aturan ini menegaskan bahwa WP masih dapat
melunasi kerugian negara atau utang pajak dan sanksi administrasi, bahkan
setelah kasus pidana telah diputuskan di pengadilan. Peraturan sebelumnya
mengatur bahwa WP hanya dapat melunasi sampai penyidikan selesai. Hal ini menunjukkan
penegakan hukum pidana yang lebih mengarah kepada ultimum remedium.
Undang-Undang HPP juga memberikan tambahan kewenangan terhadap penyidik berupa penyitaan aset. Meskipun sebenarnya wewenang untuk melakukan ini sudah diatur dalam KUHAP yang berisi penyitaan dapat dilakukan terhadap seluruh jenis benda, baik benda bergerak, tidak bergerak, berwujud, maupun tidak berwujud sepanjang terkait dengan kepentingan pembuktian suatu tindak pidana. Namun, Pasal 44 ayat (2) huruf e UU KUP justru mengurangi kewenangan penyidik pajak dalam melakukan penyitaan sesuai dengan asas lex specialis derogate legi generali. Karena pasal tersebut menyatakan penyitaan oleh penyidik pajak terhadap bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain yang seolah membatasi penyitaan hanya bisa dilakukan terhadap beberapa hal itu. Sehingga dilakukanlah penegasan wewenang penyidik melalui penambahan aturan tersebut pada Undang-Undang HPP.